

Jakarta- Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati
hasil kekayaan alam di bumi cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang
berafiliasi ke Freeport-McMoRan yang bermarkas di Amerika Serikat itu tak henti
menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad kehadiran
Freeport di tanah Papua terus menerus memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari
setoran ke negara yang dinilai masih sangat rendah, hingga pelbagai alasan
menyiasati larangan ekspor bahan mentah. Permasalahan yang menyangkut Freeport
tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga soal ketenagakerjaan dan peran
perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua. Sejauh ini, hanya sebagian
kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga Papua. Hal itu diakui sendiri
oleh petinggi Freeport Indonesia. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik
B. Soetjipto mengatakan, hanya sekitar 30 persen sampai 36 persen pekerja
Freeport yang merupakan warga Papua. "Dari 31.000 pekerja, sekitar 30-36
persen warga Papua," kata Rozik di Jakarta Convention Center, Rabu (22/1).
Diakuinya, Perseroan telah didesak untuk menambah jumlah pekerja yang berasal
dari Papua. Setidaknya hingga 45 persen dalam waktu lima tahun ke depan.
Desakan tersebut berasal dari Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).
"Seharusnya kata dia 100 persen, bukan 30 persen," imbuh Rozik. Dia
berdalih, Freeport memiliki standar kualitas pekerja yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang berminat untuk bekerja di Freeport . Rozik beralibi telah
memprioritaskan warga setempat untuk menempati posisi pekerja di perusahaan
penambang emas dan tembaga tersebut. Rendahnya peran Freeport pada warga Papua
pernah diutarakan oleh salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau
otonomi khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport
hanya sebatas CSR saja. Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak
membutuhkan dana CSR dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi saham
Freeport untuk pengelolaan. "Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun,
jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami
butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami," ucap
Irene beberapa waktu lalu. Lembaga swadaya Kontras dua tahun lalu pernah
melansir laporan fasilitas pekerja Freeport di lokasi tambang yang sangat
memprihatinkan. Misalnya kamar karyawan yang kecil, tapi diisi lima sampai enam
orang. Pekerja pun kerap mengeluh, lantaran remunerasi pegawai Indonesia tidak
sama dengan sistem yang diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di
cabang Freeport lain, upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam. Sedangkan di
Indonesia, sempat hanya USD 3 per jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar